Petani Indonesia

Petani Indonesia

Evaluasi subsidi petani hingga peran pemerintah

Untuk mengatasi tingginya harga beras yang tidak sebanding dengan pendapatan rata-rata petani, Acuviarta mengimbau kepada pemerintah untuk memastikan subsidi atau bantuan untuk petani tepat sasaran dan diberikan sesuai dengan musim tanam.

Ia menyampaikan, tata kelola subsidi baik pupuk dan benih juga perlu dibenahi, termasuk masalah ekonomi yang dihadapi petani, seperti terjerat rentenir sehingga terpaksa menjual hasil panen ke tengkulak.

Di sisi lain, porsi pembelian pemerintah terhadap beras juga bisa memainkan peran cukup besar untuk mengatur harga beras di pasaran.

Saat ini, peran Bulog dalam menyerap beras hasil produksi para petani tidak lebih dari 15 persen. Artinya, 85 persen sisanya diserap oleh rantai distribusi swasta sehingga berdampak pada permainan harga beras.

"Jadi meskipun kita sudah impor atau panen raya, tapi harga beras tidak turun. Nah ini sangat miris sekali," ucap Acuviarta.

Sejak pandemi Covid-19 berakhir atau sekitar 2022 sampai sekarang, Indonesia belum dapat menstabilkan harga beras meski sudah melakukan berbagai kebijakan, seperti impor beras.

"Dibandingkan dengan tahun lalu, kenaikan harga beras secara year on year itu sudah lebih dari 30 persen," kata dia.

"Harga gabah kita pernah sama dengan harga beras impor. Ini sangat mengkhawatirkan," tandas Acuviarta.

Diberitakan sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk membeberkan, harga beras di Indonesia mahal karena sejumlah hal.

Di antaranya kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif.

Masalah ini semestinya menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan karena Indonesia sendiri memiliki ambisi untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.

Menurut Carolyn, langkah awal yang perlu diambil adalah memastikan keterjangkauan harga pangan khususnya beras sebagai salah satu sumber gizi bagi pembentukan sumber daya manusia (SDM).

Para petani Prancis membuang tanah dan sampah di depan gedung pemerintah lokal di Brittany.

Ini merupakan bagian dari protes secara nasional pada Kamis (25/1), yang kini memasuki pekan kedua, dan menuntut perlindungan pemerintah bagi mereka dari komoditas impor yang murah, kenaikan biaya dan birokrasi.

Aksi ini menghadirkan tantangan besar pertama bagi perdana menteri yang baru, Gabriel Attal.

Jean-Jacques Pesquerel, ketua persatuan petani lokal di Rennes, Brittany mengatakan bahwa demo itu mereka lakukan karena petani harus selalu mematuhi lebih banyak aturan. Mereka selalu dituntut lebih banyak tetapi memperoleh semakin sedikit, sehingga tidak bisa memenuhi biaya hidup dengan bergantung pada pekerjaan mereka.

“Hari ini, kami meminta otoritas untuk memahami bahwa pertanian adalah penting, bahwa kedaulatan pangan berada dalam bahaya, dan bahwa kita tidak bisa menuntut petani menghasilkan panen yang berkualitas, atau bahkan makanan yang berkualitas super, tetapi di sisi lain pemerintah mengimpor produk yang tidak sesuai dengan standar Prancis sama sekali. Ini tidak bisa dibiarkan, tidak sama sekali,” kata Pesquerel.

Sementara PM Attal mengumpulkan para menteri senior, dengan tujuan akan mengumumkan sejumlah proposal yang konkrit pada Jumat (26/1), para petani telah menutup jalan-jalan utama di Prancis, yang merupakan produsen pertanian terbesar di Uni Eropa.

Pada Kamis, para pendemo telah sampai di perbatasan Paris, dengan traktor memimpin dengan kecepatan rendah pada jam sibuk lalu lintas di dekat Versailles.

Sejumlah persatuan petani telah mengancam untuk memblokade ibu kota.

Philippe Chalmin, pakar ekonomi dari Universitas Paris Dauphine mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mampu untuk menyelesaikan semua persoalan.

“Jadi, situasinya tidak berbeda dengan sejumlah negara Eropa lain, dan karena itulah cukup sulit bagi pemerintah untuk menjawab tuntutan petani itu, karena tidak ada lagi kemungkinan pemerintah bisa menetapkan harga-harga,” kata Chalmin

Dia juga menambahkan, “Dan bahkan, harga-harga itu tidak lagi tergantung pada industri atau pengecer, karena kita memiliki harga yang berlaku di Eropa dan bahkan dunia. Karena itulah, petani kecil, usaha pertanian kecil dan sejenisnya, harus bertahan dengan ketidakstabilan dan bahkan harga-harga produk pertanian dunia yang mudah berubah.”

Kekhawatiran besar lainnya, para petani khususnya dalam sektor peternakan sapi perah, memiliki ketakutan bahwa mereka akan berada di ujung tanduk, terkait upaya menurunkan harga karena pemerintah mencoba untuk mengurangi inflasi.

Dan para pengecer Prancis menghadapi kemacetan dalam negosiasi harga tahunan dengan para pemasok, sementara pemerintah ingin perundingan ini diselesaikan pada akhir bulan ini. [ns/jm]

Demo Petani Sawit se-Indonesia Digelar Hari Ini, Tuntut 5 Hal

17 Mei 2022, 09:19:44 Dilihat: 706x

Jakarta, -- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) bakal menggelar demo di 22 provinsi se-Indonesia pada hari ini, Selasa (17/5). Aksi yang digelar pada pukul 09.00-12.00 WIB itu dilakukan untuk menyikapi dampak larangan ekspor sawit.

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung mengatakan bahwa larangan ekspor minyak goreng dan CPO berdampak langsung pada anjloknya harga TBS (tandan buah segar) kelapa sawit di seluruh Indonesia.

Jakarta akan menjadi sentra utama aksi tersebut Kantor Kemenko Perekonomian RI dan Patung Kuda Monas. Selanjutnya, pendemo akan menuju Istana Presiden bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyampaikan usulannya.

Kegiatan ini akan diikuti lebih 250 peserta yang melibatkan petani sawit anggota Apkasindo dari 22 Provinsi dan 146 kabupaten/kota serta anak petani sawit yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia.

Selanjutnya, Gulat menjelaskan, aksi keprihatinan ini juga dilakukan serentak (hari dan jam yang sama) di 146 kabupaten/kota DPD APKASINDO dari 22 provinsi.

"Petani sawit yang datang ke Jakarta mulai dari Aceh sampai Papua Barat akan berpakaian adat-budaya masing-masing, kami ingin menunjukkan sawit itu pemersatu bangsa dan anugerah Tuhan kepada Indonesia", ujar Gulat, dalam keterangan resminya, Senin (16/5).

Dalam aksi tersebut, rencananya Apkasindo menyampaikan lima pesan kepada pemerintah. Berikut rinciannya:

1. Menyampaikan aspirasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) supaya melindungi 16 juta petani sebagai dampak turunnya harga TBS sawit sebesar 70 persen di 22 provinsi sawit.

2. Meminta Presiden Jokowi untuk meninjau ulang kebijakan larangan ekspor sawit dan produk MGS serta bahan bakunya karena dampaknya langsung ke harga TBS sawit.

3. Meminta Presiden Jokowi tidak hanya mensubsidi MGS curah, tapi juga MGS kemasan sederhana (MGS Gotong Royong) dan untuk menjaga jangan sampai gagal, APKASINDO meminta memperkokoh jaringan distribusi minyak goreng sawit, terkhusus yang bersubsidi dengan melibatkan aparat TNI-Polri.

4. Pemerintah harus segera membuat regulasi yang mempertegas PKS dan Pabrik MGS harus 30 persen dikelola oleh koperasi untuk kebutuhan domestik. Ini dimaksudkan agar urusan ekspor diurus oleh perusahaan besar, sehingga kelangkaan MGS tidak bersifat musiman.

5. Meminta Presiden Jokowi untuk memerintahkan Menteri Pertanian supaya merevisi Permentan 01/2018 tentang Tataniaga TBS (Penetapan Harga TBS).

Pasalnya, harga TBS yang diatur dalam Permentan tersebut hanya ditujukan untuk petani yang bermitra dengan perusahaan. Padahal, petani yang bermitra hanya 7 persen dari total luas perkebunan sawit rakyat sekitar 6,72 juta hektar. Sementara, 93 persen sisanya yang merupakan petani swadaya terabaikan.

Sumber :cnnindonesia.com

Jakarta, CNBC Indonesia - Massa Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia (SPI) bakal menggelar aksi unjuk rasa besok, bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional ke-64. Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, aksi demo akan digelar mulai pukul 09.000 WIB, besok Selasa (24//9/2024).

Aksi demo itu akan dilakukan di depan Istana Negara, Jakarta mulai pukul 09.00 WIB, kemudian massa akan bergerak ke kawasan DPR RI pada pukul 12.00 WIB. Massa dijadwalkan berkumpul di IRTI-Patung Kuda Indosat.

Dalam keterangan tertulisnya, Said Iqbal mengatakan, dalam aksi peringatan Hari Tani Nasional kali ini, Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menyatakan sikap terkait Reforma Agraria. Disebutkan, Reforma Agraria justru memperlebar ketimpangan agraria.

Sementara itu, Ketua Umum SPI Henry Saragih menyatakan, UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) tidak dijadikan sebagai rujukan dari kebijakan dan pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia.

"Demikian juga UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sebaliknya, pemerintah mengeluarkan UU yang bertentangan melalui UU Cipta kerja (Omnibus Law) yang isinya bukan saja semakin mengeksploitasi pekerja tapi juga petani, dan rakyat," kata Henry, dikutip dari keterangan tertulis yang sama.

"Reforma agraria satu dekade ini justru diarahkan hanya melegalisasi penguasaan kepemilikan tanah yang sudah timpang melalui proyek sertifikasi tanah, dan menjadi jalan korporasi-korporasi besar menguasai tanah dengan atas nama proyek strategis nasional (PSN). Serta atas nama perubahan iklim, jutaan hektare (ha) tanah rakyat dijadikan hutan konservasi dan restorasi sebagai komoditas perdagangan karbon," tukasnya.

Menurutnya,  konflik agraria semakin meningkat karena perampasan tanah rakyat semakin meluas,. Dan konflik agraria yang sudah ada selama ini tidak ada penyelesaian yang luas dan komprehensif.

Dia mengutip data Kemenko Perekonomian dan Kantor Staf Presiden (KSP) yang mencatat, ada 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik agraria selama 7 tahun terakhir (2016-2023).

"Dari angka tersebut, 70 lokasi telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Sampai dengan Februari 2024, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pada LPRA baru sebanyak 24 LPRA (14.968 bidang/5.133 Ha untuk 11.017 KK). Jadi masih ada 46 LPRA yang belum selesai dan 1.361 lokasi aduan konflik agraria yang mangkrak," sebutnya.

Jumlah petani gurem dan rakyat yang tak bertanah semakin meningkat selama 10 tahun terakhir ini.

"Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mengalami lonjakan dalam satu dekade terakhir, dari 14,24 juta pada tahun 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada tahun 2023," papar Henry.

Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli menambahkan, Reforma Agraria harus diarahkan pada upaya merombak pada struktur penguasaan agraria yang timpang.

"Pemerintah harus memastikan land reform yakni membagikan tanah untuk rakyat yang tak bertanah, petani gurem untuk usaha-usaha pertanian, pembudidaya dan petambak perikanan untuk kedaulatan pangan, maupun untuk perumahan dan pemukiman serta fasilitas sosial bagi rakyat," ujar Ferri.

"Pemerintah harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani. Ia menyatakan bahwa pemerintah harus melindungi hak asasi petani baik itu berdasarkan UU Perlindungan Petani No 19 tahun 2013 dan berdasarkan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas)," tegasnya.

Sementara itu, Said Iqbal mengatakan, pihaknya juga menyerukan agar pemerintah segera mencabut UU Cipta Kerja yang melanggar konstitusi dan hanya memperburuk ketimpangan agraria.

"UU ini tidak hanya merugikan buruh, tetapi juga petani dan seluruh rakyat kecil. Selain itu, kami juga meminta pemerintah menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani yang berjuang untuk hak-hak mereka," cetusnya.

"Petani adalah penjaga pangan bangsa ini, dan mereka harus dilindungi, bukan dikriminalisasi. Kami akan terus berjuang agar Reforma Agraria sejati terwujud demi kedaulatan pangan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," pungkas Said Iqbal.

Foto: Dok. Serikat Petani Indonesia

Jumpa pers Serikat Petani Indonesia dan Partai Buruh soal rencana aksi demo Peringatan hari Tani Nasional 2024, Dok. Serikat Petani Indonesia

Saksikan video di bawah ini:

Rantai distribusi yang panjang

Masalah kedua yang menyebabkan pendapatan petani rendah di tengah harga beras Indonesia yang mahal adalah rantai distribusi beras dari produsen ke konsumen cukup panjang.

Hal ini mempengaruhi harga jual beras yang semakin tinggi.

"Kami menilainya dari MPP atau margin pengangkutan dan perdagangan yang dipublish oleh BPS. Untuk beras MPP-nya cukup besar, bisa bisa mencapai lebih dari 40 persen dari harga di pasar bahkan kadang-kadang lebih," kata Acuviarta.

Rantai distribusi yang sangat panjang ini menyebabkan harga beras di tingkat konsumen akhir itu tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan petani.

Baca juga: Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegar mengatakan, faktor berikutnya yang menyebabkan harga beras tinggi tapi pendapatan petani rendah adalah praktik tengkulak.

Praktik tengkulak beras hingga saat ini masih marak terjadi di mana mereka akan membeli gabah dengan harga rendah sebelum panen.

"Petani yang terjebak pada praktik tengkulak tidak bisa berbuat banyak bahkan saat harga gabah naik, karena yang menikmati marjin adalah tengkulak," ungkap Bhima, dihubungi Kompas.com, Senin.

Penyebab lainnya adalah keterbatasan lahan untuk bertani padi sehingga mengurangi produksi gabah yang dihasilkan.

Bhima menyampaikan, idealnya petani akan memperoleh skala ekonomi apabila lahan yang dikelola minimum 2 hektar. Namun, saat ini sebagian besar hanya menggarap sawah di bawah 0,8 hektar.

Baca juga: Beda Dugaan Penyebab Harga Beras Mahal dan Langka Jelang Pemilu 2024

Video: Pakistan Lockdown Buntut Bentrok Polisi-Pendukung Imran Khan

Jumat, 25 Februari 2011

GORONTALO, KOMPAS – Perusahaan dari Korea Selatan, LIG Ensulting, dalam waktu dekat, akan mengembangkan pembangkit listrik tenaga biomas di Provinsi Gorontalo senilai 30 juta dollar AS. Dengan menggunakan bahan baku tongkol jagung dan sekam, diproyeksikan dapat dihasilkan tenaga listrik 12 megawatt. Hanya saja, belum ada kesepakatan mengenai harga jual listrik kepada Perusahaan Listrik Negara.

Menurut Direktur LIG Ensulting Jeong Chae, potensi pembangkit listrik tenaga biomas di Gorontalo sangat besar. Apalagi, di Gorontalo banyak terdapat bahan baku berupa tongkol jagung dan sekam padi. Pihaknya optimistis rencana investasi berupa pembangunan pembangkit listrik tenaga biomas (PLTB) di Gorontalo akan terwujud.

”Dari perhitungan kami, nilai jual listrik kepada PLN yang terendah nantinya adalah Rp 1.200 per kWh. Kami perlu bantuan Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk melobi PLN Gorontalo agar ada kesepakatan harga jual listrik dari kami dengan nilai tersebut,” ucap Jeong, Kamis (24/2), saat memaparkan rencana investasi perusahaan itu di Kantor Gubernur Gorontalo.

Jeong menambahkan, diperlukan lahan seluas tujuh hektar untuk lokasi pendirian PLTB di Gorontalo. Selain itu, dibutuhkan juga bahan baku biomas sekitar 300 ton per hari dari tongkol jagung dan sekam padi.

Ia menyebut bahwa perusahaannya memerlukan waktu sekitar dua tahun empat bulan untuk pembangunan PLTB di Gorontalo.

Kepala Badan Investasi Daerah Provinsi Gorontalo Rusthamrin Akuba mengatakan bahwa Gorontalo mampu menghasilkan tongkol jagung sebanyak 104.000 ton per tahun. Sekam yang bisa dihasilkan mencapai 67.000 ton per tahun. Artinya, menurut dia, kebutuhan untuk PLTB tersebut dapat tercukupi di Gorontalo.

”Bahkan, jika batang pohon jagung berikut daunnya disertakan, Gorontalo mampu menyediakan bahan baku biomas dalam jumlah lebih banyak lagi. Kami optimistis rencana ini bisa diwujudkan untuk mengatasi krisis listrik di Gorontalo,” ucap Rusthamrin.

Dari Pangkal Pinang dikabarkan bahwa Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjajaki teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir dari Jepang dan Korea Selatan. Bangka Belitung berencana membangun dua pembangkit listrik tenaga nuklir dalam 12 tahun ke depan.

Sementara itu, PLN di wilayah Flores bagian timur mendapat target dari PLN pusat untuk merealisasikan rasio elektrifikasi sebesar 60 persen pada tahun 2011.

Hal itu akan diupayakan dengan menjangkau sebanyak 11.000 pelanggan baru melalui pengadaan pembangkit listrik tenaga surya. (APO/RAZ/SEM)

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/25/03540359/tongkol.jagung.untuk.pembangkit

KOMPAS.com - Bank Dunia menyebutkan, harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan harga beras di pasar global.

Harga beras di Indonesia juga disebut-sebut konsisten paling mahal di kawasan ASEAN.

Ironisnya, pendapatan rata-rata petani lokal justru dinilai tidak sebanding dengan melonjaknya harga beras.

Hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari 1 dollar AS atau sekitar Rp 15.199 per hari.

Artinya, pendapatan petani lokal hanya mencapai 341 dollar AS atau Rp 5,2 juta per tahun.

Catatan Bank Dunia menunjukkan, hanya 31 persen penduduk Indonesia yang mampu mendapatkan makanan sehat lantaran sulit membeli makanan bergizi seperti daging, telur, ikan, dan sayuran.

Lantas, mengapa harga beras di Indonesia mahal tetapi pendapatan rata-rata petani rendah?

Baca juga: Harga Beras Premium dan Medium per 1 Maret 2024, Ini Rinciannya

Penyebab beras mahal tapi pendapatan petani rendah

Ahli ekonomi Universitas Pasundan (Unpas) Acuviarta Kartabi mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan pendapatan petani di Indonesia tidak sebanding dengan harga jual beras.

Penyebabnya yaitu biaya produksi yang sangat mahal dan rantai distribusi beras yang terlalu panjang.

"Pertama persoalannya biaya produksinya yang mahal dan terus meningkat. Jadi mulai dari pupuk, pestisida sampai bibit itu cenderungnya naik dan mahal," kata dia, saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon WhatsApp, Senin (23/9/2024).

Menurut Acuviarta, sering kali barang yang dibutuhkan oleh petani seperti pupuk untuk proses menghasilkan beras tidak tersedia atau langka.

Alhasil, petani harus merogoh kocek cukup dalam untuk mendapat barang tersebut.

"Padahal pemerintah sudah memberikan subsidi pupuk. Nah ini juga perlu dievaluasi dari sisi produksinya," ungkap Acuviarta.

Di sisi lain, kesejahteraan petani juga tidak signifikan. Acuviarta menyampaikan hal itu bisa dilihat dari nilai tukar petani di mana biaya produksi yang ditanggung petani sangat besar.

Belum lagi, petani juga harus mengeluarkan biaya-biaya terkait dengan konsumsi rumah tangga tani yang terus meningkat.

"Biaya produksi yang meningkat itu tidak sebanding dengan pendapatan yang harusnya mengikuti daya beli petani," kata dia.